Jumat, 28 Desember 2012

Padang Kupu - Kupu


PADANG KUPU-KUPU

Oleh: Nurul Istiqomah




(Di kota x tahun 19xx…)
        
         Seorang bocah laki-laki tampak tergopoh-gopoh membawa baskom besar berisi air panas. Dilompatinya dua anak tangga sekaligus dan berlari bak kesetanan. Hampir tergelincir di tangga terakhir. Namun, ia berhasil menjaga keseimbangan dan kembali berlari menyusuri lorong rumah itu.

         “Ayo cepat Bayu!!! Bawa kemari air panasnya!!!”, seorang wanita meraih baskom air panas yang sedari tadi dipegang bocah laki-laki itu lalu mendorong si pengantar pelan, “Sekarang kamu keluar dulu”.

         “Mat ajak main Bayu di luar”, ia berbicara pada bocah lain yang sepantaran dengan Bayu.

         Tanpa pikir panjang diajaknya Bayu ke luar rumah dengan mengedikkan kepalanya. Bayu melangkahkan kakinya mengikuti bocah itu seperti induk ayam dan anaknya. Tak ada suara. Hanya desau tanah yang bergesekan dengan kaki telanjang mereka. Bayu berjalan menjejakkan kakinya pada bayangan yang terus bergerak di depannya, sesekali mempercepat langkahnya sembari meredakan napas yang tersengal kelelahan.

          Bayangan di depan berhenti. Begitu pula Bayu. Ditegakkannya kepalanya, dan tampaklah sebatang pohon rindang yang sangat besar seolah merengkuh langit dengan dahannya. Jamat terduduk, direbahkan punggungnya di batang pohon raksasa itu. Dengan agak ragu Bayu menirunya. Diselonjorkannya kakinya yang kelelahan.

           ”Baru pertama ya, Yu?”, Jamat berpaling pada Bayu. Yang ditanya menjawab dengan anggukkan kepala.

           ”Kalau aku sering karena ibuku dukun, yang susah kalau rumahnya jauh,” lanjutnya,”Dulu pernah aku menemani ibu pergi ke kampung sebelah tengah malam, gelapnya bukan main, bahkan kakiku sendiri saja tidak kelihatan..."

           Selesai bicara, Jamat kembali diam. Hening. Seolah ikut menikmati kesunyian ini, angin sepoi berhembus, meniup mereka pelan. Sehelai daun kering jatuh di kaki Bayu, dipungutnya daun itu dan kemudian  melumatnya menjadi serpihan kecil.

           ”Apa kau tidak ngeri melihat darah begitu banyak?”, Bayu menampakkan wajah heran.

           ”Kalau dulu waktu pertama kali sih ngeri, bahkan aku sempat pingsan melihat adikku begitu saja muncul keluar belepotan darah”, Jamat ikut-ikutan melumat daun yang jatuh di kakinya. ”Aku langsung dibopong Bapak ke luar. Namun, setelah itu malah jadi terbiasa.”

***

”Yu, Bayu... koe neng di? Reneo! Tak kongkon ndisik...”, teriak seorang wanita yang tampak terburu-buru.

Seorang bocah berperawakan sedang muncul, tangannya memegangi bagian depan bajunya yang penuh dengan gundu. ”Ndalem bu’e?”, tanyanya sopan.

”Iki tukokno brambang neng omahe Yu Pat.”, diserahkannya lembaran-lembaran uang berwarna merah.

Bocah itu lantas mengibaskan bajunya hingga gundu-gundunya berjatuhan di atas tanah dan meraih lembaran uang itu. Ia segera berlari menuntaskan tugasnya tanpa menghiraukan sekitar. Tak disadarinya sepasang mata terus memperhatikan sambil tersenyum geli. 

***

Hari itu umbul-umbul putih berdiri, memberikan kabar duka atas si empunya rumah. Tak ada angin. Umbul-umbul itu tegak berdiri tanpa ada yang bisa merobohkan. Seolah-olah ingin melawan kabut kesedihan yang tengah merundung keluarga ini.

Kuperhatikan lekat-lekat setiap orang yang masuk. Berpakaian serba hitam seperti seragam kematian. Tak ada kata-kata. Bahkan sebuah tegur sapa untukku. Namun, ku tak peduli. Seekor kucing mengeong ketika kakiku melewatinya. Kuhiraukan kucing itu dan terus mengikuti seorang bapak tua yang masuk menemui keluarga si almarhum.

”Sabar yo, Yu! Iki wis takdir, relokno wae.”, bapak tadi tampak menghibur kerabat yang tengah kehilangan ini. Wanita itu mulai tenang. Hanya isakan kecil terdengar, tersembunyi di balik jarik yang menutupi wajah letihnya.

Perhatianku tak luput pada semua peristiwa di ruangan ini. Namun, kurasakan ada sesuatu yang kurang, apakah gerangan? Kembali kupandangi wajah-wajah muram di ruangan ini tuk mencari petunjuk. Wajah muram yang sama. Nah, kumengerti sekarang. Di manakah wajah riang pangeran kecil itu? Kuseberangi ruangan ini, rumah ini, dan pekarangan sempit di belakang. Namun, sama sekali tak kudengar tawa atau bahkan suara dentuman detak jantungnya. Apakah gerangan yang terjadi padanya?

***

Zzzz... zzzz... aroma lezat apa ini? Zzz... zzz... Oh, aroma ini datang dari sana... Zzz... zzz.. Di dekat pohon itu... Slurrpp...slurrp... enak sekali...

”Hai, cantik... sedang apa kau?”, Refleks kuterbangkan tubuhku menjauh saat sesosok mahkluk mencoba menangkapku..

”Tenang, aku tidak akan menyakitimu”, lanjutnya,”Aku hanya ingin mengagumi keindahanmu”.

Saat kurasa aman dan jauh dari jangkauannya kuperhatikan makhluk itu. Makhluk apa gerangan? Kenapa ia begitu besar? Dan kenapa ia tetap di tanah? Tak ada sayap di punggungnya, ataupun sungut seperti milikku? Aneh sekali...

”Baiklah, kalau kau merasa lebih aman di situ.” lanjutnya, ”Aku hanya ingin merenung di sini. Atau mungkin kau sudi mendengar keluh kesahku?”.

Raut wajahnya berubah. Namun, aku tak dapat memahami arti perubahan itu. Matanya menerawang seakan memikirkan sesuatu, ”Mungkin aku kan merasa bahagia bila mempunyai sayap sepertimu. Bebas terbang di angkasa tanpa perlu khawatir kehilangan sesuatu yang kusayangi...”         

Mulutnya bergerak-gerak tapi aku tak mengerti yang dikatakannya. Ia terus mengoceh sementara tubuhku melayang-layang di sisinya. Mencari nektar manis untuk kuhirup... slurrp... slurrp... 

***

Senja ini kami berada di tempat yang sama seperti dulu. Kami duduk bersandar pada pohon dengan berbagai kupu berwarna-warni pelangi yang menari lincah menghirup nektar di hamparan bunga di hadapan kami. Seharusnya ini merupakan sebuah pemandangan yang indah bagi siapapun yang melihatnya. Namun, tidak bagiku. Perasaanku dibutakan akan kenyataan yang disodorkan di depan mataku. Hari ini adalah hari penentuan itu. Hari di mana aku harus kembali merenggut kehidupan seorang manusia. Hari di mana aku harus kembali kehilangan seorang sahabat. Hari di mana aku harus kembali merasakan kesepian yang sama.

Hari ini kuutarakan semua kenyataan itu pada sahabatku, Bayu. Ia terus menunduk saat aku berbicara. Namun, yang membuat perasaanku semakin sakit, membuat perasaanku kembali terkoyak adalah saat ia menunjukkan wajah itu. Selukis wajah tegar, seakan pasrah pada takdir yang kian mendekat. Juga kata-kata itu. ”Ini adalah suratan takdirku. Tak ada yang bisa dirubah, dan harus tetap kujalani. Setidaknya aku mendapat sebuah keistimewaan, seorang sahabat yang selalu ada di sisiku selama ini. Terima kasih, Cantik.”

***

 Zzz... zzz... makhluk itu datang lagi, ia kembali duduk bersandar di pohon itu. Semakin sering ia kemari aku semakin terbiasa dengan kehadiran sosoknya. Seakan siluetnya semakin menyatu dengan padang kami. Tanpa ragu aku akan beterbangan di sisinya mencari seteguk kenikmatan yang tersembunyi di balik pohon itu.

 Slurrp... slurrp... Biarlah kuteguk kenikmatan ini. Setelah sekian lama waktu yang kubutuhkan untuk dapat menikmatinya. Menjadi sosok buruk rupa, terperangkap dalam pupa pelindungku, dan akhirnya dapat terbang bebas menjadi makhluk cantik yang selalu dikagumi. Biarlah kuhirup kebebasan ini walaupun hanya sedikit waktu yang tersisa.

Kelak, saat sayap-sayapku memudar dan tubuhku lenyap perlahan menjadi debu, akan kukenang dalam memoriku bahwa setidaknya dalam hidupku yang singkat ini pernah kuhirup hawa surga kebebasan saat tubuhku bermetamorfosis sempurna menjadi seekor  makhluk cantik. Makhluk cantik yang bebas terbang kian kemari di padang ini.

***

Hari itu, di padang inilah ia pertama kali melihat sosokku. Saat ia tengah asyik berkisah pada kupu-kupu di padang ini. Wajahnya menampakkan keterkejutan yang amat sangat kala itu. Tak kusalahkan ia. Toh, tak ada satu manusiapun yang tak terkejut bila aku tampak di hadapan mereka. Sosoknya yang berubah pendiam semenjak kematian ayahnya mengerut ketakutan kala melihatku. Saat itu kucoba tuk meyakinkannya. Meyakinkannya bahwa aku tidak akan menyakitinya seperti ia yang tak akan menyakiti kupu-kupu di padang ini. Meyakinkannya bahwa aku hanya ingin menjadi sahabatnya, seperti ia ingin menjadi sahabat para kupu-kupu di padang ini. Walau kutahu itu adalah sebuah tindakan terlarang bagiku.

Begitulah. Kemudian kami menjadi sepasang sahabat. Persahabatan yang aneh. Orang-orang hanya dapat melihat sosok Bayu. Tanpa diriku, walaupun aku selalu bersamanya selama itu. Dan di sinilah biasanya kami bersama saling berbagi cerita, di padang penuh bunga tempat beragam kupu-kupu bebas berterbangan. Kami berdua menyebutnya padang kupu-kupu.

Pertemuan-pertemuan kami selalu diisi kisah-kisah indah yang dituturkannya. Kebanyakan berkisah tentang tokoh-tokoh wayang. ”Ayah sering bercerita tentang tokoh-tokoh wayang ketika beliau masih hidup”. Saat itu sejenak wajahnya akan berubah sendu, tapi tak akan lama karena ia akan berusaha kembali ceria. Menampakkan sosok ceria pangeran kecilku. ”Kau mirip Drupadi, istri Pandawa Lima, kata Ayah ia adalah wanita yang sangat cantik.”, lanjutnya,”Kau juga sangat cantik dengan sayapmu.”. Sejak itu ia selalu memanggilku Cantik, walaupun aku tidak begitu tahu bagaimana rupa Drupadi atau siapa Pandawa Lima itu.

Kemudian ia berkata, ”Kalau kau Drupadi, mungkin aku bisa menjadi Arjuna. Tahukah kau? Sebenarnya Drupadi mencintai Arjuna. Namun, karena Arjuna adalah salah satu dari Pandawa Lima ia harus berbagi istri dengan Pandawa yang lain.”, ia mengerjap sekilas dan mimiknya akan berubah lucu, ”Namun, aku tidak akan membagimu dengan siapapun. Karena akan kupanah siapapun yang berusaha merebutmu ”. Terkulum senyum kecil di bibirku mendengar ucapannya. Ia memberengut melihatku, tapi setelah itu kami akan tertawa-tawa keras hingga kupu-kupu di padang ini terganggu oleh suara kami.  

***

Hari itu umbul-umbul putih berdiri, memberikan kabar duka atas si empunya rumah. Tak ada angin. Umbul-umbul itu tegak berdiri tanpa ada yang bisa merobohkan. Seolah-olah ingin melawan kabut kesedihan yang tengah merundung keluarga ini.

Hari itu adalah hari kematian Bhisma, sahabatku. Masih terngiang kata-kata terakhir yang diucapkannya. ”Seandainya saja aku bisa memilih waktu kematianku sendiri seperti halnya tokoh Bhisma, maka akan kupilih saat di mana kau belum mengenalku. Agar kau tidak perlu lagi merasakan sakit saat harus menjalankan perintah-Nya dan kembali kehilangan seorang sahabatmu.

Namun, hal itu tetap terjadi. Itulah ketentuanku. Ketentuan yang sudah dibuat-Nya jauh sebelum kepak sayapku hadir di dunia ini. Dan kali ini aku harus kembali kehilangan seorang sahabatku, Bayu. Umbul-umbul putih itu kembali berdiri di rumah ini. Kembali wajah wanita yang semakin menua itu menampakkan kesedihan. Tersembunyi di balik jarik yang sama, yang semakin pudar dimakan usia. Entahlah apa yang dirasakan wanita itu. Aku pun tak sanggup melukiskannya.

***

Sekarang, aku berdiri di padang yang sepi ini. Sendiri. Sayap-sayapku terasa semakin berat dan membebaniku hingga kujatuhkan diriku menetap tanah. Seluruh tubuhku terasa semakin hampa. Kupandangi tanganku... sayapku... kakiku... tubuhku... Perlahan-lahan memudar dan terus memudar. Hingga kusadari tubuh dan sayapku perlahan-lahan melebur menjadi ribuan kupu-kupu berwarna-warni indah dan terbang menentang angin. Namun, itu tak lama. Sayap-sayap ribuan kupu-kupu itu perlahan menghitam. Seakan mereka merasakan kesedihan yang amat sangat hingga tampak di sayap-sayap itu. Dan semakin lama sayap-sayap dan tubuh-tubuh kupu kecil itu memudar dan lenyap. Yang tertinggal hanyalah sisa-sisa debu kesedihan yang kemudian tertiup dan terbawa angin hingga tersebar di padang kupu-kupu ini. Padang kupu-kupu yang penuh keindahan dan kenangan sesosok malaikat yang pernah mendiaminya.

***

Tamat



Tidak ada komentar:

Posting Komentar